Mengenal Wiji Thukul; akar rumput yang Tak Pernah Mati
Mengenal Wiji Thukul; Akar Rumput yang Tak
Pernah Mati
Melawan lewat karya sastra, itulah yang dilakukan oleh Wiji Thukul sebelum dilaporkan hilang tahun 1998. Mungkin kamu pernah melihat kisah pengasingannya lewat film “istirahatlah kata-kata”. Namun jauh sebelum kejadian dalam film itu, kehidupan Wiji Thukul adalah kehidupan akar rumput yang sesungguhnya. Ia lahir dan dibesarkan di keluarga miskin di kota Solo, aktif mengajak para buruh memperjuangkan haknya, juga berani bersuara lewat puisi untuk ‘menyentil’ penguasa diktator pada masa Orde Baru. Buku-buku puisinya baru terbit setelah ia hilang: “Aku Ingin Jadi Peluru” (2000) dan “Nyanyian Akar Rumput” (2003). Hingga kini Wiji Thukul belum kembali ke pelukan keluarganya. Mari kita membaca karya-karya Wiji Thukul untuk melawan lupa!
Wiji
Widodo adalah nama asli Wiji Thukul. Lahir di kampong Sorogenen, Solo pada 26 Agustus
1963. Ia menamatkan SMP pada tahun 1979, lalu masuk Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia (SMK) Jurusan Tari, tetapi keluar (drop-out) pada tahun 1982 karena
ingin biaya sekolah diberikan untuk kedua adiknya.
Sejak
berhenti sekolah, Wiji Thukul bergabung ke Teater Jagat, lalu mendirikan
perkumpulannya sendiri, Teater Suka Banjir. Dari teater mualnya ia menulis
puisi.
Pada
17 Agustus 1982, pertama kali ia sadar bahwa karya sastra bisa membuat cemas
pemerintah setelah membacakan puisi berjudul kemerdekaan dan panitia
penyelenggara dipanggil ke kelurahan
Pada
tahun 1988, beliau menjadi wartawan Masa Kini-walaupun hanya tiga bulan. Selain
itu, sajak-sajaknya diterbitkan dalam media cetak, baik di dalam negeri maupun
di luar negeri, seperti Suara Pembaharuan, Bernas, Surabaya Post, Merdeka,
Inside Indonesia (Australia), Tanah Air (Belanda), dan penerbitan mahasiswa,
seperti Politik (UNiversitas Nasional), Pijar (UGM), dan Keadilan (UII
Yogyakarta). Selain menulis sajak, ia juga menulis cerpen, esai, dan resensi
puisi.
Sebagai
ketua Jaringa Kesenian Rakyat (Jaker) yang dekat dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD), ia menggerakkan 15 ribu buruh pabrik garmen PT Sri Rejeki
Isman (Sritex) di Desa Jetis, Sukoharjo, Solo, untuk berhenti kerja dan
menuntut kenaikan upah. Ia ditangkap dan dihajar oleh aparat hingga terancam
buta. Kejadian ini terjadi pada tanggal 11 Desember 1995.
Meski
matanya belum sembuh, Wiji Thukul nekat pergi ke Jakarta untuk mengikuti
Deklarasi PRD di kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI). Ia
membacakan puisi Sajak Suara dan Peringatan.
Masuknya
Jaker ke tubuh organisasi PRD, ternyata membuat para seniman yang menjadi
anggotanya berselisih paham dengan Wiji Thukul. Cempe Lawu Warta, guru Thukul
di Teater Jagat, mengingatkan untuk hati-hati, karena terlibat politik praktis
saat itu dapat mengancam jiwanya (22 Juli 1996).
Pada
1996, Wiji Thukul mulai menjadi buron dan berpindah-pindah tempat setelah
dituduh oleh rezim Soeharto menjadi dalam Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 22
Juli)
Pada
Oktober 1997, Wiji Thukul menemui adiknya Wahyu Susilo, di Jakarta
Maret-April
1998, beliau bertemu dengan Staf Komunitas Utan Kayu di kantor ISAI Jakarta
setelah itu hilang bingga sekarang
Tanggal
3 April 2000, KOmisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS)
mengeluarkan siaran pers resmi bahwa Wiji Thukul termasuk dalam 13 korban
penghilangan paksa selama masa menjelang jatuhnyaSoeharto.
Penghargaan;
1. Tahun
1991, Wiji Thukul mendapat Wertheim Encourage Award yang diberikan oleh
Wertheim Stichting di Negeri Belanda
2. Tahun 2002, mendapat penghargaan Yap Thian Hiem
Film;
1. Tahun 2017, Film Istirahatlah Kata-kata
hadir di bioskop, menceritakan pengasingan Wiji Thukul di Pontianak saat
dituduh menjadi dalang Peristiwa Kudatuli (Kerusuhan 22 Juli 1996)
2. Tahun 2018, Film documenter Nyanian Akar
Rumput hadir dibioskop, berkisah tentang kehidupan istri dan anak Wiji Thukul
selama ia menghilang.
Sumber;
-
Ensiklopedia kemedikbud.go.id
historia.id
-
Tirto.id
-
Wiji thukul, Teka Teki Orang
Hilang/ebooks gramedia.com
-
Kontras.org
Komentar
Posting Komentar