3 Buku Sastra Tentang Wabah Penyakit

 

3 Buku Sastra Tentang Wabah Penyakit

Epidemi Corona yang mengglobal membuat seluruh dunia waspada. Sebelum Corona, ada wabah Kolera dan Sampar (Pes) yang lebih dulu mematikan. Wabah-wabah ini diabadikan para sastrawan dunia untuk menjadi latar novel-novel mereka. Meskipun kisah-kisah ini fiktif, tetapi teror, ketakutan, dan penderitaan yang dikisahkan mampu menggambarkan bagaimana rasanya ketika wabah-wabah itu merenggut nyawa. Dan di balik semua itu, ketiga novel ini membawa pesan kemanusiaan dan satir tentang sifat manusia yang bisa membuat kita bercermin lewat karakter-karakternya.

Ketiga novel ini telah di terjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dan berikut novelnya :

1.  1. Sampar”, judul asli dalam bahasa Prancis “La Peste”, terbit pertama kali tahun 1947, Penulis : Albert Camus.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Nh. Dini. Dengan tokoh pencerita seorang dokter, novel ini menggambarkan ketidakberdayaan, nyaris keputusasaan seorang dokter ketika berhadapan dengan merajalelanya epidemi sampar. Mereka hanya mampu mendiagnostik, memutuskan, kemudian memerintahkan karantina. Meski begitu, suasana di Oran, sebuah kota di negeri koloni Prancis di Aljazair yang terkena epidemi ini sesungguhnya adalah gambaran kondisi Prancis sendiri yang sedang dicengkeram oleh pendudukan Nazi.

2.    2. “Cholera”, Terbit pertama kali tahun 1985, Penulis : Gabriel Garcia Marquez

Cinta itu bersemi ketika wabah kolera melanda. Meski ini kisah cinta, tapi cerita tentang wabah kolera yang menjadi latarnya juga cukup menakutkan. Fermina Doza menolak cinta Florentino Arza dan memilih menikahi dokter Juvenal Urbino, tetapi Florentino tetap menunggunya hingga 51 tahun, 9 bulan dan 4 hari kemudian. Selama setengah abad, Florentino jatuh ke pelukan begitu banyak wanita, tapi cintanya hanya untuk Fermina. Tepat saat suami Fermina mengembuskan napas terakhirnya, Florentino kembali menyatakan cintanya.

3.    3.  “Blindness”, terbit pertama kali tahun 1995, Penulis : Jose Saramago

Warga sebuah kota tiba-tiba menderita “buta putih”. Dunia tak menjadi gelap, tapi justru memutih, seperti susu. Ini adalah penyakit menular, menyebar ke seluruh kota. Orang-orang mencoba untuk mengarantina mereka. Pemberontakan pun pecah. Novel ini adalah salah satu alasan Saramago mendapat Nobel Sastra tahun 1998. Sudah diangkat ke layar lebar dengan judul sama, dibintangi oleh Mark Ruffalo dan Julianne Moore.


Sumber : @klubbukunarasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah menggunakan atau memodifikasi gambar dari internet?

Pantang Pikun Berkat Baca

Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Memutus Perkara