5 Buku Pengingat Kemanusiaan, rekomendasi @Sylvietanaga

 

5 Buku Pengingat Kemanusiaan, rekomendasi @Sylvietanaga

Aksi unjuk rasa besar-besaran menentang rasisme di Amerika Serikat juga turut menjalar ke kota-kota lain di dunia. Ini menyadarkan kita bahwa rasisme, penindasan, dan ketidakadilan terjadi di mana saja, termasuk di negeri sendiri. Ini saatnya kita mengasah kemanusiaan dan berefleksi lewat bacaan. Penulis sekaligus peneliti isu minoritas dan komunikasi antar budaya, Sylvie Tanaga (@sylvietanaga) sudah menyiapkan lima buku yang penting untuk dibaca hari-hari ini.

1.     “The Hate U Give”, Penulis : Angie Thomas

Seorang gadis kulit hitam di Amerika Serikat menyaksikan sahabatnya yang tidak bersenjata ditembak mati oleh seorang polisi berkulit putih. Menggunakan kacamata seorang anak, novel ini berteriak gamblang mengenai eksistensi rasisme dalam urat nadi masyarakat modern abad 21 di sebuah negara demokrasi yang konon sangat menghargai hak asasi manusia. Mereka yang berani bersaksi direpresi dan aksi massa menjadi satu-satunya cara untuk didengar. Minoritas senantiasa mengalami getirnya diskriminasi dalam keseharian dan anak-anak selalu menjadi kelompok yang paling rentan. Kasus George Flyod membuktikan novel ini bukan sekedar fiksi.

2.     “Tanah Tabu”, Penulis : Anindita S. Thayf

Tanah Tabu berkisah mengenai kehidupan sebuah keluarga suku Dani di Papua yang beranggotakan tiga generasi berbeda, benang merah yang mereka alami sama: penindasan struktural yang berusaha menyingkirkan mereka dari tanah leluhurnya sendiri, juga hak mereka sebagai manusia bermartabat. Patriarki dan perang suku berbaur dengan eskploitasi alam tanpa batas, serbuan para pendatang dan politik daerah. Tak seingar binger kasus George Floyd, kolonialisme di tanah Papua seolah menjadi hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.

3.     “Kata-kata Membasuh Luka”, Penulis :  Martin Aleida

Buku ini berisi 35 cerita pendek yang ditulis oleh Martin Aleida selama 50 tahun dengan tema kekerasan politik selama 1965-1966. Uraian dalam setiap cerpennya sangat menyilet nurani. Misalnya, cerita seorang korban yang disiksa di Markas Komando Distrik Militer dengan kejutan listrik dan ekor pari kering, kemudian dicemplungkan dalam bak mandi dan diperintahkan menghabiskan sepiring sambal. Cerpen ini menjadi pengingat betapa para korban prahara 1965-1966 masih belum mendapatkan keadilan, bahkan suaranya terus dibungkam. Lewat kumpulan cerpen ini, Martin menunjukkan peran sastra yang sangat penting dalam menggugat ketidakadilan.

4.     “Semua untuk Hindia”, Penulis : Iksaka Banu

Kumpulan cerpen ini tak Cuma menjungkirbaikkan pemahaman tentang makna kebangsaan dan nasionalisme, tapi juga membuka mata kita bahwa manusia sesungguhnya tak pernah mutlak bersifat hitam dan putih macam sinetron. Menggunakan latar sejarah kolonial, Iksaka Banu membawa kita menyelami kompleksitas kehidupan masyarakat kolonial dalam suasana perang. Tentara kolonial tak selalu bejat (hitam) sementara mereka yang identik dengan label “Pahlawan Nasional” tidak selalu baik dan bijaksana (putih). Sebabnya, tidak ada manusia yang benar-benar jahat atau benar-benar baik. Propaganda-lah yang menciptakannya demikian.

5.     “1984”, Penulis : George Orwell


Novel fenomenal karya George Orwell ini merangsang kita berpikir kritis akan makna menjadi manusia merdeka, dalam pikiran maupun tindakan. Bayangkan jika tiap sel tubuh dan pergerakan kita di sadap dan dianalisa. Bayangkan jika tiap teks dikendalikan. Mereka yang tak sejalan dengan kehendak penguasa dieksekusi. Orwell seperti sedang menubuatkan ancaman terhadap kemerdekaan manusia di masa kini. Perkembangan dunia dengan teknologi canggihnya saat ini membuat tak seorang pun dapat sepenuhnya menyembunyikan jejak rekam. Fatal akibatnya jika pemegang jejak rekam kita adalah penguasa totalitarian.


Sumber :

-         @sylvietanaga

-         @klubbukunarasi

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bolehkah menggunakan atau memodifikasi gambar dari internet?

Pantang Pikun Berkat Baca

Jenis-Jenis Putusan Hakim dalam Memutus Perkara