Mengenal Sosok Sapardi Djoko Damono
Mengenal
Sosok Sapardi Djoko Damono
“Jangan
mengenang saya, tapi baca karya-karya saya”
Berikut
adalah sedikit wawacara dengan sapardi Djoko Damono semasa beliau masih hidup
di acara Ulang tahun beliau yang ke-80 :
Akhir-akhir
ini Bapak terlihat produktif menerbitkan buku. Ingatkah berapa jumlah total
buku Bapak?
-Kira-kira
50. Karena saya kan bukan hanya menulis puisi, novel, cerpen, tapi juga esai,
buku-buku akademis, politik, dan penelitian.
Tahun
2019 Bapak menerbitkan kumpulan cerpen. Sejak kapan Bapak mulai menulis cerpen?
-Saya
menulis cerpen sejak SMP, tapi saya lupakan karena pernah ditolak majalah.
Tahun 2009 sempat saya kumpulkan dan terbitkan sendiri dengan penerbitan yang
saya dirikan di Jakarta. Dijual secara “online”. Ternyata diminta oleh GPU
sehingga diterbitkan kembali dengan judul “Sepasang Sepatu Tua”, berisi 50
persen karya lama dan 50 persen karya baru.
Faktanya
Bapak lebih dikenal sebagai penyair, terutama karya-karya yang bertema cinta
dan romantis. Apakah Bapak senang dikenal seperti itu?
-Sebetulnya
saya tidak ingin mencitrakan diri saya seperti itu, Cuma kebetulan karya yang
laku itu yang cinta-cintaan, puisi, novel. Kalau orang benar-benar ingin
mengenal karya saya, saya sarankan membaca buku puisi berjudul “Ayat-ayat Api”.
Di situ saya sangat kritis. Salah satunya saya bercerita tentang pembunuhan
mahasiswa di Makassar. Ada juga sajak “Dongeng Marsinah”, yang proses penulisannya
sampai tiga tahun.
Siapa
yang menginspirasi Bapak menjadi penulis dan bagaimana mereka memengaruhi karya
Bapak?
-Di
Solo waktu SMP ada tempat penyewaan buku. Saya rajin sekali ke tempat itu,
sampai akhirnya menemukan buku Rendra (W.S. Rendra) berjudul “Balada
Orang-Orang Tercinta”. Pertama kali baca saya langsung paham, gampang. Tidak
memusingkan. Dari Rendra saya belajar kalau puisi itu sederhana, tidak
rumit-rumit.
Lalu
waktu kelas 2 SMA di perpustakaan umum milik pemerintah saya menemukan karya T.S.Eliot
berjudul “Murder in the Cathedral”. Waktu itu saya tidak paham. Saat kuliah
sastra Inggris di UGM, saya banyak baca karya-karya penulis Internasional, tapi
karya T.S.Eliot lah yang membuat saya penasaran untuk mendalaminya. Saya
memutuskan membahas “Murder in the Cathedral” untuk skripsi saya supaya saya
paham karya itu. Setelah itu saya menerjemahkan buku itu dan diterbitkan.
Setiap kali menulis, saya selalu teringat “Murder ini the Cathedral”.
Bagaimana
Bapak Memaknai proses berkarya hingga sekarang?
-Zaman
saya pertama mulai menulis tangan, karena waktu itu saya tidak punya mesin
ketik. Di kemudian hari, manuskrip-manuskrip itu diterbitkan oleh GPU dalam
bentuk aslinya. Setelah masa tulisan tangan lewat, saya menulis mengikuti
perkembangan zaman, perkembangan teknologi. Nama saya mulai dikenal setelah
banyak yang membuat musikalisasi puisi. Itu saya temukan di mana-mana.
Ternyata, karya sastra bisa numpang tenar setelah alih wahana, karena musik ternyata lebih mudah dipahami. Setelah itu baru saya menulis novel yang
dikembangkan dari puisi, kemudian novelnya diadaptasi ke layar lebar.
Pembacanya jadi meluas setelah berubah wahana.
Selain
yang sudah diterbitkan, adakah karya Bapak yang banyak orang tidak tahu?
-Tidak
banyak yang tahu saya pernah menerbitkan novel dalam Bahasa Jawa. Waktu itu
zamannya novel berbahasa Jawa dicetak tipis-tipis. Penerbitnya banyak banget.
Istilahnya itu roman “Panglipur Wuyung” (pelipur kesedihan). Itu laku banget
waktu itu. Saya waktu itu diminta salah satu penerbit, ya saya tulis saja 3
novel. Tapi karena menurut saya menulis dalam bahasa Jawa itu lucu, dan
kebanyakan penulisnya perempuan, maka saya pakai nama samaran, perempuan.
Novel-novel saya itu masih bisa ditemukan di perpustakaan di Yogyakarta dan
sampai sekarang belum ada yang tahu kalau itu saya.
Selain
baca buku, apalagi yang bisa memberi inspirasi dalam berkarya?
-Mendengarkan
musik. Meskipun saya mendengarkan musik tidak pernah sambil menulis. Menulis ya
menulis. Mendengarkan musik ya mendengarkan musik. Waktu SMP itu saya masih
dengar musik dari radio kuno, sampai ditempel-tempel ke telinga karena suaranya
jelek banget. Lalu saya mulai suka dengar lagu-lagu “hits” dari ABC radio, saya
tulis liriknya. Lirik-lirik itu kadang-kadang memunculkan lagu-lagu yang saya
dengarkan, yang cocok dimasukkan ke dalam cerita. “Playlist” saya
bermacam-macam, dari Beethoven sampai Ed Sheeran ada. Yang jelas saya suka lagu
yang lirik-liriknya bagus.
Seperti
apa Bapak ingin dikenang?
-Saya
ingin karya saya dibaca sampai akhir zaman, meskipun saya sudah meninggal. Saya
menulis karena ingin menulis. Kebanyakan orang dikenang dari sososknya bukan
karyanya. Saya tidak mau seperti itu. Jangan kenang orang, tapi karyanya.
Jangan mengenang saya, tapi baca karya-karya saya.
Komentar
Posting Komentar